Welcome guests, please press the bell The Guest [1]

The Guest [1]


Malam kali ini diselimuti oleh kabut tipis dengan angin lembut yang berdesir melewati pohon-pohon tua yang melindungi sebuah rumah megah beraksen klasik. Pintu merah gelapnya berdiri kokoh, seperti gerbang menuju dunia lain. Di dalamnya, seorang wanita anggun dengan gaun merah elegan duduk di atas kursi antik yang dikelilingi aura misterius. Dia menyesap teh hangat dari cangkir porselen dengan gerakan lembut, tatapannya tertuju pada pintu ruang tamu. Di atas meja kecil di hadapannya, sebuah cangkir kosong telah disiapkan. Dia tahu, tamu istimewa akan segera tiba.

Suara bel yang memecah keheningan membuat wanita itu tersenyum tipis. Alunan musik klasik yang menggema di seluruh rumah seolah menjadi pengiring bagi sesuatu yang telah lama dinantikannya.

Di luar, seorang wanita muda berdiri ragu di depan pintu merah itu. Rok hijaunya berkibar tertiup angin malam, dan tangannya menggenggam secarik kertas coklat persegi dengan erat. Matanya mengamati rumah besar yang tampak seperti bagian dari dongeng kuno. Rumah itu terlihat megah, namun memiliki kesan yang mencekam. Cahaya redup dari lampu taman menciptakan bayangan-bayangan aneh yang menari di rerumputan.

Wanita muda itu menarik napas panjang sebelum akhirnya menekan bel. Dentingan suara bel itu membuatnya tersentak, namun tidak ada yang menyambutnya. Sebuah suara mekanis terdengar samar, dan tanpa disangka, pintu merah itu terbuka perlahan, seakan mengundangnya masuk.

Langkah-langkah kecil membawanya masuk ke dalam rumah. Aroma kayu tua dan lavender segera menyergap indranya. Mata wanita muda itu terpaku pada berbagai hiasan antik yang tergantung di dinding. Lukisan-lukisan besar dengan bingkai emas, cermin tua yang tampak berkilau, serta lampu gantung kristal yang menggantung rendah, semuanya memberikan nuansa magis.

Tanpa sadar, dia semakin masuk ke dalam rumah, hingga sebuah suara lembut namun tegas menghentikan langkahnya.

"Selamat datang," suara itu terdengar seperti melodi, memaksa wanita muda itu menoleh. Di sana, di sebuah ruangan yang hanya berisi meja kecil dan dua kursi antik, seorang wanita cantik dengan gaun merah duduk dengan anggun.

"Apa yang kamu inginkan, Nona manis?" tanya wanita itu dengan senyum memikat, matanya yang tajam memandang dari atas hingga ke bawah.

Wanita muda itu tercekat. Bibirnya terbuka, namun kata-kata seolah tertahan di tenggorokannya. Dengan tangan gemetar, dia menyerahkan kertas coklat yang dibawanya. Kertas itu memiliki barcode kecil dengan tulisan "Échangez le vôtre" di sampingnya.

Wanita dengan gaun merah mengangguk, lalu melirik kursi di depannya. "Silakan duduk. Apa kau datang sendiri?" ujarnya lembut.

Wanita muda itu mengangguk kaku dan perlahan duduk di kursi yang ditunjukkan. Setelah menenangkan diri, dia mulai berbicara. "Saya datang sendiri. Taksi menurunkan saya di depan gerbang. Lalu saya berjalan kaki ke sini," katanya dengan suara pelan.

Namun, wanita bergaun merah menggeleng, senyum misterius tersungging di wajahnya. "Benarkah begitu?" tanyanya, melirik perut wanita muda itu dengan tatapan yang penuh arti. "Padahal tidak baik berjalan sejauh itu jika sedang berbadan dua."

Wanita muda itu terperanjat. Wajahnya memerah, dan tangannya refleks menutupi perut ratanya. Tidak ada yang tahu jika dia tengah berbadan dua. "Saya tidak... maksud saya..." Dia gagap, berusaha mengalihkan perhatian. "Saya menemukan kertas ini di dekat pagar pembatas jembatan, dan saya melihat website yang tertulis di sana. Itu membawa saya ke sini. Anda—Madam, saya rasa, menawarkan sesuatu yang tidak biasa."

Wanita bergaun merah tersenyum lebih lebar. "Jiwa yang putus asa, tampaknya mulai memiliki harapan. Kau benar, Nona. Aku bisa menjadikan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Tapi itu datang dengan harga tertentu, dan uang bukanlah alat transaksi yang aku gunakan."

Dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, memandang wanita muda itu dengan intens. "Jadi, ceritakan masalahmu. Semua keajaiban dimulai dengan sebuah keinginan."

Wanita muda itu terdiam sejenak, lalu mulai bicara dengan suara yang nyaris berbisik. "Saya... saya kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang tidak bisa saya dapatkan kembali dengan cara apapun. Tapi aku percaya, Madam bisa menjadikannya mungkin."

Madam mengangguk perlahan. "Dan kau berharap aku bisa membantumu mengabulkannya?"

"Ya," jawab wanita muda itu dengan mantap. 

Madam tertawa kecil. "Tapi sebelum itu, aku ingin mendengar kisah lengkapmu. Mulailah dari awal."

Ruangan itu menjadi sunyi. Wanita muda itu menarik napas dalam, matanya menerawang jauh, lalu mulai menceritakan kisahnya. Suaranya memenuhi ruangan, membawa mereka berdua ke dalam cerita yang penuh harapan, kesedihan, dan rahasia yang perlahan mulai terungkap. Di luar, angin malam berdesir, seakan ikut mendengarkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Saya... Saya hidup sebatang kara sekarang," dia memulai dengan napas berat. "Ayah saya meninggal ketika saya masih kecil. Sejak itu, ibu saya menjadi segalanya bagi saya. Dia adalah alasan saya bertahan, meskipun hidup seringkali tidak adil."

Dia berhenti sejenak, menggigit bibir bawahnya untuk menahan emosi. "Ibuku adalah wanita paling kuat yang pernah kukenal. Dia bekerja siang dan malam untuk memastikan aku tidak kekurangan apa pun. Tapi, setahun yang lalu, dia jatuh sakit. Dan sebelum aku menyadarinya, dia sudah pergi... begitu saja."

Wanita itu menelan ludah, air matanya menggenang. "Hidup tanpa ibu adalah sesuatu yang tidak pernah kubayangkan. Rasanya dunia ini terlalu sunyi, terlalu sulit. Tidak ada lagi yang mendukungku, tidak ada lagi yang bisa kuajak bicara."

Dia mengambil napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum melanjutkan. "Dan sekarang, segalanya semakin buruk. Aku baru saja kehilangan pekerjaanku. Bosku memecatku karena kesalahan yang tidak kumaksudkan. Kekasihku... orang yang kupikir akan selalu ada untukku, malah meninggalkanku saat tahu aku mengandung anak kami."

Wanita muda itu menunduk, memegangi perutnya dengan tangan yang gemetar. "Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Tidak ada tempat untuk kembali. Tidak ada yang peduli. Tapi, jika aku bisa memiliki satu hal... satu harapan... aku ingin ibuku kembali hidup. Aku ingin dia di sini bersamaku. Setidaknya aku tidak akan merasa sendirian."

Madam mendengarkan dengan tenang, ekspresi wajahnya tetap lembut namun sulit ditebak. Setelah wanita muda itu selesai berbicara, ruangan kembali sunyi. Hanya suara dentingan jam tua di sudut ruangan yang terdengar, mengisi kekosongan di antara mereka.

Setelah beberapa saat, Madam tersenyum kecil dan mengangguk. "Kisahmu... penuh luka dan kehilangan. Tapi juga penuh keinginan yang kuat. Kau ingin ibumu kembali, bukan?"

Wanita muda itu mengangguk pelan, matanya penuh harap meskipun bibirnya bergetar karena keraguan.

Madam tidak mengatakan apa-apa lagi. Dengan gerakan anggun, dia mengangkat tangannya, dan dengan satu jentikan jari, sebuah map hitam muncul di atas meja, tepat di antara mereka. Map itu berkilauan samar dalam cahaya lampu, seperti menyimpan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar dokumen biasa.

"Ini," ujar Madam sambil menunjuk map itu, "adalah perjanjian. Di dalamnya tertulis syarat-syarat yang harus kau penuhi jika ingin mendapatkan keinginanmu. Tapi ingat, setiap keajaiban datang dengan harga. Dan harga yang harus kau bayar mungkin lebih besar dari yang kau bayangkan."

Wanita muda itu menatap map hitam itu dengan ragu. Tangan Madam melayang di atas map, membukanya perlahan. Kertas-kertas di dalamnya tampak tua, namun tulisannya berkilau seperti tinta perak. Di halaman pertama, sebuah kalimat tertulis besar dalam bahasa yang sama dengan tulisan di kertas coklat: Échangez le vôtre.

"‘Tukarkan milikmu’..." wanita muda itu membaca dengan suara berbisik. Dia mengangkat wajahnya untuk menatap Madam. "Apa yang harus kutukarkan?"

Madam menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya berkilauan seperti memahami sesuatu yang tidak diungkapkannya. "Itu tergantung padamu, Nona. Apa yang kau anggap paling berharga di dunia ini? Karena itulah harga yang akan diambil."

Wanita muda itu terpaku. Perutnya terasa dingin, dan jantungnya berdebar keras. Namun, bayangan ibunya yang tersenyum lembut dan membelainya saat kecil muncul di benaknya. Dia mengingat segala pengorbanan ibunya, rasa hangat yang hanya ibunya yang mampu berikan.

"Aku akan melakukannya," katanya akhirnya, meskipun suaranya terdengar gentar. "Aku akan membayar harganya, apapun itu."

Madam tersenyum lebih lebar, kali ini senyuman yang sulit diartikan. "Bagus," katanya pelan. "Tapi sebelum kita mulai, izinkan aku mengingatkanmu sekali lagi. Keajaiban ini bersifat mutlak. Jika kau menukar sesuatu, tidak akan ada jalan kembali. Sudah siapkah kau, Nona manis?"

Wanita muda itu tidak menjawab. Namun, tangannya yang gemetar terulur, mengambil pena yang tiba-tiba muncul di atas map. Dengan napas yang berat, dia bersiap menandatangani perjanjian itu, memasrahkan takdirnya ke tangan Madam dan kekuatan misterius yang dia miliki.

Madam memegang sebuah jam pasir yang entah bagaimana sudah ada di tangannya, lalu membalikkan jam pasir itu. Butir-butir pasir halus mulai turun dengan pelan. "Keinginanmu, akan selamanya menjadi milikmu. Tapi, aku akan menagih bayaran yang kamu janjikan ketika waktunya telah tiba," ujarnya seraya melirik jam pasir tersebut.


Bersambung....


Penulis: Mahabella

Sumber foto: Pinterest 

Posting Komentar

0 Komentar