Hera melangkah keluar dari rumah besar Madam dengan tubuh gemetar. Udara pagi yang dingin menyapa kulitnya, menggantikan keheningan mencekam yang menyelubungi rumah itu semalaman. Langit mulai beranjak cerah, warna jingga keemasan menyemburat di cakrawala. Namun, ada sesuatu yang terasa aneh—waktu seakan melompat. Padahal, dia merasa hanya menghabiskan waktu setengah jam di dalam rumah Madam, tapi kini hari sudah berganti pagi.
Hera memandangi rumah besar itu sekali lagi. Pintu merah gelapnya telah tertutup rapat, dan kesunyian menyelimuti tempat itu seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Perasaan tidak nyata menggantung di dadanya, namun ada harapan kecil yang menyala terang di dalam hatinya.
Dia mengayunkan langkah dengan cepat, tak sabar untuk pulang dan melihat apakah keajaiban benar-benar terjadi. Jalan setapak panjang yang tadi terasa penuh rintangan kini dilaluinya dengan mudah. Pagar besar yang tadi terbuka kini sudah tertutup rapat, seakan menegaskan bahwa kunjungannya ke sana adalah rahasia yang hanya miliknya sendiri.
Setibanya di rumah kecilnya, Hera langsung mencium aroma masakan yang familiar. Aroma yang selama ini hanya bisa dia kenang, kini menyambutnya kembali dengan hangat. Tubuhnya terasa ringan, seolah seluruh beban yang ia pikul selama ini telah lenyap.
“Ibu…” panggilnya dengan suara serak, dan air matanya hampir menetes ketika melihat sosok wanita tua yang sangat dirindukannya berdiri di dapur. Rambutnya yang beruban, tubuhnya yang kecil, dan gerakan lincahnya saat memasak adalah pemandangan yang begitu akrab baginya. Ibunya sedang menyiapkan sarapan, seperti dulu, sebelum semua berubah.
Namun, saat Hera melangkah mendekat dengan niat memeluk, ibunya malah terkejut. Refleks, wanita tua itu menutupi wajahnya dengan kedua tangan, wajahnya pucat ketakutan.
"Kenapa, Bu? Aku hanya ingin memeluk Ibu," tanya Hera, bingung dengan reaksi itu.
Wanita tua itu menurunkan tangannya perlahan, tapi tatapannya masih penuh ketakutan. “B-Baik, Non,” jawabnya gemetar.
Hera tertegun sejenak. Non? Panggilan itu terdengar sangat familiar di telinganya, sudah lama dia tidak mendengar itu semenjak ibunya pergi. Pelukan itu tidak terasa seperti yang dia bayangkan. Ibu Hera tidak membalas pelukannya dengan kehangatan seperti selayaknya ibu dan anak yang sedang melepas rindu, melainkan kaku, seperti orang asing yang terpaksa tunduk pada perintah.
Setelah melepas pelukan itu, Hera melangkah ke ruang tamu sambil bersungut-sungut. "Aku baru saja kehilangan pekerjaan, jadi Ibulah yang harus bekerja… seperti sebelumnya," celotehnya tanpa memperhatikan wajah ibunya yang pucat.
Hera menjatuhkan tubuhnya di sofa, bersandar dengan malas. "Huh, hidupku sangat susah tanpa Ibu. Aku harus membersihkan rumah ini sendiri dan bekerja untuk memenuhi kebutuhanku!" keluhnya, tangannya mengusap dahinya dengan gerakan dramatis.
Di dapur, ibunya berdiri terpaku, tangan gemetar memegang spatula. Matanya berkaca-kaca, namun dia tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya menunduk dan melanjutkan memasak, seperti seorang pelayan yang takut melanggar perintah majikannya.
Hera memejamkan mata, mencoba menikmati kenyamanan ini. Namun, sebuah pikiran aneh menyelinap di kepalanya. Ia teringat bagaimana Madam memperingatkannya bahwa setiap keajaiban datang dengan harga. Apa harga yang sebenarnya telah ia bayar?
Dalam hati, ia mengabaikan kekhawatiran itu. Yang penting sekarang, ibunya kembali. Tapi, meski tubuh ibunya ada di sana, kehangatan dan cinta yang ia rindukan terasa seperti bayangan semu. Dan entah mengapa, ada perasaan dingin yang terus menghantuinya, membuat dadanya terasa berat.
Bersambung....
Penulis: Mahabella
Sumber foto: Pinterest
0 Komentar