Hari demi hari berlalu sejak Rina membuat perjanjian itu.
Seperti yang dijanjikan, kehidupannya mulai berubah.
Sebuah email dari perusahaan lama yang telah memecatnya tiba-tiba masuk ke dalam kotaknya, meminta maaf atas kesalahan mereka dan menawarkan posisi yang lebih tinggi dengan gaji yang jauh lebih besar.
Tabungannya yang nyaris kosong kini kembali penuh. Transaksi misterius dengan jumlah besar masuk ke rekeningnya, tanpa ada catatan dari mana asalnya.
Orang-orang yang sebelumnya mengabaikannya, kini kembali mencarinya. Teman-temannya mulai mengundang dirinya ke pertemuan, seolah-olah mereka lupa bahwa sebelumnya mereka pernah menjauhinya.
Rina akhirnya mendapatkan kembali kehidupan yang dulu ia miliki.
Namun, jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang terasa salah.
Kadang-kadang, ia merasa seseorang mengawasinya.
Di malam hari, ia sering mendengar suara ketukan di jendela apartemennya, meskipun ia tinggal di lantai delapan.
Tok… tok… tok…
Namun, setiap kali ia melihat ke luar, tidak ada siapa pun di sana.
---
Sementara itu, di kantor perusahaan tempatnya bekerja, seorang rekan kerja yang baru dipromosikan tiba-tiba tidak hadir.
"Heri kemana?" tanya Rina saat makan siang.
Teman-temannya saling berpandangan.
"Heri?" seorang wanita di sebelahnya mengerutkan dahi. "Siapa itu?"
Rina tersentak. "Heri! Orang yang duduk di seberang mejaku! Baru saja dipromosikan bulan lalu!"
Rekan-rekannya menggeleng.
"Tidak ada yang namanya Heri di kantor ini," kata salah satu dari mereka.
Darah Rina terasa membeku.
Ia yakin Heri ada. Ia ingat berbicara dengannya, bekerja dengannya, bahkan menghadiri perayaan promosinya.
Namun, saat ia kembali ke kantor, meja yang dulunya milik Heri kini kosong, seolah tak pernah ada siapa pun yang bekerja di sana.
Dan yang lebih menakutkan—tidak ada satu pun orang yang mengingat bahwa ia pernah ada.
---
Malam itu, Rina tidak bisa tidur.
Ketakutan mulai melanda dirinya.
Jika seseorang seperti Heri bisa menghilang dari dunia ini tanpa ada yang mengingatnya…
Lalu, kapan gilirannya akan tiba?
Tok… tok… tok…
Suara itu datang lagi.
Namun, kali ini, bukan dari jendela.
Tapi dari pintu depan apartemennya.
Tok… tok… tok…
Jantungnya berdegup kencang.
Tangannya gemetar saat ia melangkah mendekati pintu.
Ketika ia mengintip melalui lubang pintu, tidak ada siapa pun di luar.
Namun, saat ia berbalik, matanya langsung melebar ketakutan.
Di dalam cermin di ruang tamunya, ada sosok pria bertopi bundar, berdiri diam menatapnya.
Dan sebelum ia bisa berteriak, sosok itu keluar dari cermin.
Tubuh Rina membeku.
Di depannya, pria bertopi bundar berdiri lebih dekat dari yang pernah ia lihat sebelumnya.
Dan di belakangnya, Madam berdiri anggun, dengan senyuman kecil di bibir merah gelapnya.
"Sudah waktunya, Rina," ujar Madam lembut, suaranya seperti racun manis yang mematikan.
Rina mencoba mundur, tetapi kakinya tidak bisa bergerak. "Tidak… tidak mungkin! Aku… aku masih punya waktu!"
Madam tertawa kecil. "Tidak ada yang pernah tahu kapan waktunya tiba, sayang. Yang pasti, waktumu adalah sekarang."
Bayangan gelap mulai merayap di kaki Rina, membelit tubuhnya seperti rantai tak kasat mata.
"Aku… aku bisa membayar dengan sesuatu yang lain!" isaknya, air mata mulai mengalir di pipinya.
Madam menggeleng, menatapnya dengan penuh rasa kasihan. "Kau sudah tahu sejak awal, bukan? Harga yang kau bayarkan adalah dirimu sendiri."
Rina menjerit.
Namun, suaranya tidak pernah terdengar.
---
Keesokan harinya, apartemen Rina kosong.
Rekan kerjanya tidak mencarinya.
Tidak ada yang mengingat siapa Rina. Tidak ada catatan tentang dirinya.
Semuanya berjalan seperti biasa, seolah ia tidak pernah ada.
---
Di suatu tempat yang tidak bisa dijangkau manusia biasa, Madam duduk dengan tenang, menyesap teh hangat dari cangkir porselen elegannya.
Di hadapannya, pria bertopi bundar menyerahkan buku perjanjian yang kini mencatat nama yang baru saja dihapus dari dunia.
Madam menghela napas puas.
"Satu lagi telah lunas," katanya sambil menutup buku itu.
Ia lalu melirik pria bertopi bundar. "Bagaimana dengan target berikutnya?"
Pria itu mengangkat tangannya.
Di genggamannya, sebuah secarik kertas coklat berpendar samar.
Madam tersenyum puas.
"Bagus," bisiknya.
Dan di suatu tempat di dunia manusia, seorang pria sedang berdiri di atas jembatan, menatap sungai hitam dengan mata kosong.
Ketika keputusasaan hampir membawanya ke ujung jalan, sebuah tangan dingin menyentuh bahunya.
"Kau tidak perlu melakukan itu."
Ia menoleh.
Di sana, berdiri seorang pria berbaju hitam dengan topi bundar, tatapannya penuh ketenangan.
Dengan ekspresi yang tak terbaca, pria itu mengulurkan secarik kertas coklat.
"Ambil ini."
Dan begitu saja, lingkaran itu dimulai kembali.
___
Dunia ini penuh dengan godaan, dengan janji-janji manis yang tampaknya bisa mengubah kehidupan dalam sekejap. Dalam keputusasaan, manusia sering kali mencari jalan pintas—cara cepat untuk keluar dari penderitaan, tanpa memikirkan harga yang harus dibayar.
Namun, setiap kesepakatan yang dibuat dengan kegelapan selalu membawa konsekuensi yang lebih besar dari yang bisa dibayangkan. Kenikmatan duniawi yang diberikan oleh kekuatan gelap hanyalah ilusi, fatamorgana yang berujung pada kehancuran.
Tak ada kekuatan lain di dunia ini yang lebih besar daripada Tuhan—satu-satunya tempat di mana harapan sejati bisa ditemukan.
Keputusasaan bukanlah alasan untuk menyerahkan diri pada kegelapan. Jika hidup terasa berat, dekati Tuhan, bukan setan yang hanya menunggu untuk menjerat jiwa-jiwa yang lemah.
Setiap manusia memiliki ujian, tetapi tidak ada ujian yang diberikan tanpa jalan keluar. Tuhan selalu memberikan jalan bagi mereka yang bersabar dan berusaha.
Jika hatimu terasa hampa, jangan mencari jawaban dalam kertas-kertas coklat penuh tipu daya.
Carilah ketenangan dalam doa, dalam ibadah, dalam keimanan yang tak tergoyahkan.
Sebab, hanya dengan mendekat kepada Tuhan, hidupmu akan benar-benar diperbaiki—tanpa harus menjual jiwa untuk sesuatu yang bersifat sementara.
Karena pada akhirnya, kegelapan tak pernah bisa memberi cahaya.
Dan hanya Tuhan yang bisa menerangi jalanmu yang sebenarnya.
*** TAMAT. ***
0 Komentar