Welcome guests, please press the bell Échangez le Vôtre [Extra 4]

Échangez le Vôtre [Extra 4]


Malam itu, di bawah rembulan yang bersembunyi di balik awan tebal, seorang wanita muda berdiri di atas jembatan, tubuhnya gemetar dalam keputusasaan.

Namanya Rina, seorang pekerja kantoran yang baru saja kehilangan segalanya. Uang di rekeningnya hampir habis, pekerjaannya dicabut, dan keluarganya yang dulu ia harapkan kini berpaling darinya.

Hidupnya terasa hampa, seolah ia telah mencapai titik di mana tidak ada lagi harapan.

Angin malam menerpa wajahnya, dingin menusuk hingga ke tulang.

"Aku lelah," bisiknya, menatap sungai hitam di bawahnya.

Ia mengangkat kakinya ke pagar jembatan, bersiap untuk mengakhiri segalanya.

Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, sebuah tangan dingin menyentuh bahunya.

"Kau tidak perlu melakukan itu."

Rina tersentak dan menoleh.

Di sana, berdiri seorang pria berbaju hitam dengan topi bundar, tatapannya tenang namun dalam, seperti seseorang yang tahu segala hal tentangnya.

Ia tidak mengenal pria itu, tetapi entah mengapa… kehadirannya terasa familiar.

Sebelum Rina sempat bertanya siapa dia, pria itu mengulurkan secarik kertas coklat.

"Ambil ini."

Rina menatapnya ragu, tetapi tangannya bergerak sendiri, menerima kertas itu.

Di atasnya, tertera kalimat yang tampak sederhana tetapi terasa seperti sihir yang membelenggu pikirannya.

"Échangez le Vôtre."

"Tukarkan milikku…?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar.

Pria itu mengangguk pelan. "Masukkan alamat ini ke dalam komputermu. Jawaban atas semua masalahmu ada di sana."

Rina menelan ludah. Pikirannya dipenuhi kebingungan, tetapi di dalam hatinya, sebuah harapan kecil mulai muncul.

Jika ada cara lain untuk memperbaiki hidupnya… mengapa tidak mencobanya?

Saat ia kembali menatap pria itu, tubuhnya sudah menghilang di balik kabut malam.

Ia menunduk, menatap secarik kertas coklat di tangannya.

Di dalam dirinya, dua suara bertarung—akal sehatnya yang penuh keraguan, dan keputusasaannya yang terus berbisik bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya.

Dan seperti yang terjadi sebelumnya, keputusasaan selalu menang.

---

Malam itu, di dalam kamar sempitnya, Rina menyalakan laptopnya dengan tangan gemetar.

Ia menatap kertas coklat itu sekali lagi, lalu mengetik alamat yang tertera di sana.

Begitu ia menekan Enter, layar berubah menjadi hitam pekat.

Di tengah layar, satu kalimat muncul.

"Apa yang ingin kau tukarkan?"

Jantungnya berdebar keras.

Rina menggigit bibirnya, pikirannya berputar dengan cepat.

"Aku ingin hidupku kembali seperti dulu."

Tombol Enter ditekan.

Layar berkedip.

Kemudian, muncul pertanyaan baru.

"Setiap keinginan memiliki harga. Apa yang bersedia kau berikan sebagai gantinya?"

Tangannya gemetar. Ia menatap layar, lalu kembali ke kertas coklat itu.

Apa yang harus ia berikan?

Ia tidak punya apa-apa. Tidak punya uang, tidak punya rumah, tidak punya harta yang bisa ditukar.

Tapi…

Bukankah pria itu mengatakan bahwa ini akan menyelesaikan semua masalahnya?

Dengan tangan gemetar, ia mengetik:

"Apa pun yang dibutuhkan."

Layar berkedip lebih lama kali ini.

Dan akhirnya, sebuah kalimat terakhir muncul sebelum layarnya kembali normal.

"Permintaan diterima. Persetujuan telah dicatat. Harga akan diklaim di kemudian hari."

Udara di dalam kamarnya mendadak menjadi lebih dingin.

Lampu meja berkedip sesaat, sebelum kembali stabil.

Rina menelan ludah, merasa sedikit mual.

Ia tidak tahu apa yang baru saja ia lakukan.

Tetapi… jika ini benar-benar berhasil…

Jika ini bisa mengubah hidupnya…

Maka ia rela membayarnya.

Tanpa menyadari bahwa harga yang akan ia bayar jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.

---

Di tempat lain, di dunia yang tak bisa dijangkau manusia biasa, Madam tersenyum puas.

Di tangannya, sebuah buku perjanjian terbuka, dan nama baru muncul di halaman terakhir.

"Rina," bisiknya, suaranya lembut namun dingin.

Di belakangnya, pria bertopi bundar berdiri diam, matanya kosong, menatap ke dalam bayangan yang beriak seperti air gelap.

Madam menutup buku perjanjiannya dengan bunyi tak! yang lembut.

"Kita hanya perlu menunggu," katanya, menyerahkan buku itu kepada pria bertopi bundar.

Sang pria menerima buku itu tanpa berkata-kata, lalu menghilang ke dalam bayangan.

Madam menyesap tehnya dengan tenang, matanya berbinar penuh antisipasi.

Siklus itu telah dimulai kembali.

Dan seperti sebelumnya, tak akan ada yang bisa menghentikannya.


Posting Komentar

0 Komentar