Hari demi hari berlalu, dan Hera semakin terbiasa memanfaatkan kehadiran ibunya. Wanita tua itu selalu sigap memenuhi setiap perintah Hera, meski tubuhnya yang lemah sering kali tidak sanggup mengikuti tuntutan anaknya. Namun, Hera tidak pernah peduli. Baginya, ibunya adalah solusi atas semua masalah dalam hidupnya.
"Panas sekali! Bu, tolong ambilkan kipas!" Hera berseru dari sofa, sambil menggulung tubuhnya dengan selimut meskipun udara cukup hangat. Ibunya yang sedang menyapu lantai langsung berhenti, meletakkan sapunya, dan berjalan tertatih-tatih menuju kamar untuk mengambil kipas.
“Lama sekali, Bu! Apa Ibu tidak mendengar aku panggil? Aku sudah seperti mau pingsan di sini!” bentak Hera ketika ibunya muncul dengan kipas di tangan. Wanita tua itu buru-buru menyerahkannya tanpa berani menjawab.
Tak sampai di situ, Hera sering kali meminta hal-hal yang hampir mustahil. Suatu pagi, dia memanggil ibunya dengan nada tinggi.
"Bu! Kenapa teh ini rasanya hambar? Aku tidak suka! Buatkan lagi!" katanya sambil melemparkan cangkir ke lantai. Pecahan porselen bertebaran di sekitar kaki ibunya. Wanita tua itu mengangguk, air matanya mengalir, tapi ia tetap bergegas ke dapur untuk membuat teh yang baru.
Namun, bahkan setelah teh itu dibuat ulang, Hera tetap tidak puas. "Apa ini?! Rasanya tetap tidak enak! Ibu benar-benar tidak bisa diandalkan!" Hera menghempaskan dirinya di sofa, merutuk panjang lebar.
Kehidupan ibunya semakin menyedihkan. Tubuh wanita tua itu semakin lemah, tapi Hera tidak pernah mengurangi bebannya. Dia bahkan semakin kasar. Jika ibunya lambat atau membuat kesalahan kecil, Hera akan berteriak, atau bahkan memukul meja keras-keras untuk menakutinya.
Suatu malam, saat ibunya terlihat terlalu lelah untuk membersihkan kamar mandi, Hera masuk ke kamar mandi dengan wajah marah. "Apa-apaan ini?! Kenapa kamar mandinya masih kotor?! Ibu mau aku hidup seperti orang miskin, ya?!" bentaknya sambil menyeret ibunya ke sana.
Wanita tua itu menangis. “Maaf, Non... Saya lelah sekali tadi...”
"Lelah? Lelah?!" Hera mencibir, menatap ibunya dengan penuh hinaan. "Aku lebih lelah, tahu! Aku ini harus kerja, harus mikir bagaimana aku bisa bertahan hidup. Ibu cuma perlu lakukan perintahku. Itu saja!" Hera menunjuk lantai dengan kasar. “Bersihkan sekarang juga!”
Wanita tua itu tidak punya pilihan selain menuruti perintah Hera, meskipun tubuhnya hampir roboh.
Hari-hari terus berlalu dengan pola yang sama. Hera menjadi semakin kejam, semakin menuntut, dan semakin tidak peduli. Hingga suatu pagi, dia menemukan ibunya tidak bergerak di lantai dapur, terbaring lemas dengan wajah pucat.
Hera mengernyit. "Bu! Apa yang Ibu lakukan di sana?! Bangun dan masak sarapan untukku!" katanya sambil mendekat.
Namun, ibunya tidak merespons. Hera mengguncang tubuhnya dengan kasar. "Bu, jangan pura-pura sakit! Aku tidak punya waktu untuk ini!"
Ketika ibunya tetap diam, Hera mulai panik. "Bu?!" Dia mengguncangnya lagi, kali ini lebih keras. Tapi tubuh wanita tua itu sudah dingin. Wajahnya pucat, matanya sedikit terbuka, menatap kosong ke langit-langit. Di tangannya yang keriput, masih menggenggam spatula yang sering digunakan untuk memasak sarapan.
Hera tertegun, tubuhnya membeku. Napasnya terhenti sejenak saat kenyataan menghantamnya. Dia teringat perjanjian yang dia buat dengan Madam. Keajaiban selalu datang dengan harga. Namun, saat ini, harga itu terasa terlalu mahal.
Dia telah mendapatkan ibunya kembali, tapi hanya untuk menghancurkannya lagi. Dan kali ini, tidak ada keajaiban yang bisa membawa ibunya kembali.
Bersambung....
Penulis: Mahabella
Sumber foto: Pinterest
0 Komentar