Welcome guests, please press the bell The Guest [4]

The Guest [4]

 


Malam itu, hujan turun dengan deras, seolah langit ingin melunturkan segala dosa dan rahasia yang tersembunyi di bumi. Petir menyambar, menerangi pekarangan belakang rumah Hera yang gelap. Hujan deras menghantam tubuhnya, tapi Hera tidak peduli. Dia berdiri di sana, memegang cangkul dengan tangan yang gemetar, jas hujannya basah kuyup.

Dia menggali dengan penuh amarah dan ketidakwarasan, tanah basah terlempar ke segala arah. Air hujan mengalir ke lubang yang dia gali, membuat pekerjaannya semakin sulit, tapi Hera terus mengayunkan cangkul tanpa henti. Dia harus menemukan jawabannya—sekarang.

Setelah tanah tergali hingga kedalaman sekitar dua meter, cangkulnya menghantam sesuatu yang keras. Hera berhenti, mengatur napas, lalu berjongkok untuk membersihkan tanah dengan tangannya. Kilatan petir menyinari lubang itu, memperlihatkan apa yang tersembunyi di dalamnya—tulang belulang manusia yang berserakan, dan sebuah tengkorak utuh yang menatap kosong ke arah langit.

Hera menatap tengkorak itu dengan ekspresi kosong, lalu senyum miring terbentuk di wajahnya. "Ibu ada dua," gumamnya dengan suara serak, disertai tawa kecil yang terdengar seperti retakan kejiwaan.

Namun, senyumnya perlahan memudar saat kilasan memori memenuhi pikirannya. Dia mengingat semua yang telah terjadi sejak ibunya kembali—hari-hari penuh perintah dan amarahnya, hingga kematian tragis yang sama seperti sebelumnya. Segalanya terasa... familiar. Pola hidup yang sama, rutinitas yang sama, bahkan kalimat-kalimat yang diucapkan ibunya sebelum mengembuskan napas terakhir.

Hera menggigil bukan karena hujan, melainkan karena kenyataan yang baru saja menghantamnya. "Ini... ini bukan keajaiban," bisiknya pada dirinya sendiri. Dia terjatuh ke dalam lubang, memeluk lututnya sambil bergumam berulang-ulang, "Aku hanya mengulang waktu... Aku hanya mengulang waktu..."

Petir kembali menyambar, seolah menegaskan kebenaran pahit itu. Madam tidak menghidupkan ibunya kembali. Madam hanya memberikan Hera kesempatan untuk menjalani ulang masa lalu, tanpa memberinya kekuatan untuk mengubah apa pun.

Hera duduk di dalam lubang itu untuk waktu yang lama, hujan terus mengguyur tubuhnya. Matanya menatap kosong ke arah tengkorak yang tergeletak di tanah. Dia tahu, itu adalah tulang belulang ibunya yang asli—ibunya yang dia aniaya hingga ajal menjemput di kehidupan sebelumnya.

"Apakah ini yang kau maksud dengan harga, Madam?" katanya, suara bercampur isak tangis. "Mengulang semua rasa sakit yang pernah kualami... dan membuatnya lebih buruk karena aku tahu akhirnya akan tetap sama?"

Hera menatap ke langit, air mata bercampur dengan air hujan di pipinya. "Apa aku bisa memperbaikinya? Apa aku bisa menebus dosa-dosaku?" Dia memohon pada kegelapan di atasnya, tapi tidak ada jawaban. Hanya suara hujan dan angin yang terus menggema di telinganya.

Namun jauh di dalam hati, Hera tahu jawabannya. Perjanjian itu mutlak, seperti yang Madam katakan. Tidak ada jalan kembali. Dia terjebak dalam lingkaran waktu yang tak berujung, terpaksa menghadapi dosa-dosanya lagi dan lagi, tanpa kemampuan untuk memperbaikinya.

Sambil tersenyum pahit, Hera meraih cangkulnya. Dengan sisa tenaga, dia mulai menutup kembali lubang itu, mengubur tulang-tulang yang sudah terungkap. Namun kali ini, rasa bersalah dan penyesalan yang mengiringi setiap ayunan cangkul lebih berat dari sebelumnya.

Ketika tanah akhirnya rata, Hera berdiri di atasnya, memandang pekarangan yang kini seolah menjadi makam rahasia dari dua versi ibunya—yang lama dan yang baru.

"Maafkan aku, Bu," bisiknya, meski tahu kata-kata itu tidak akan pernah cukup untuk menebus segalanya. "Maafkan aku..."

Langkahnya terhuyung-huyung saat dia berjalan kembali ke rumah, meninggalkan pekarangan yang kini hanya terlihat seperti tanah basah biasa. Namun, dalam dirinya, Hera tahu, dosa-dosa itu akan terus menghantuinya, seperti bayangan yang tidak pernah hilang.


Bersambung....


Penulis: Mahabella

Sumber foto: Pinterest

Posting Komentar

0 Komentar