Welcome guests, please press the bell The Guest [5]

The Guest [5]


Keesokan paginya, hujan sudah berhenti, menyisakan udara dingin dan tanah yang basah di kawasan kampung tempat Hera tinggal. Namun, ketenangan pagi itu segera pecah oleh suara sirene polisi dan langkah berat petugas yang mengelilingi rumah Hera. Garis kuning polisi dipasang melingkari rumah itu, menarik perhatian para tetangga yang segera berkumpul, berbisik-bisik dengan wajah penuh keheranan dan rasa ngeri.

"Semalam aku melihatnya," ujar salah satu tetangga kepada petugas. "Dia menggali sesuatu di belakang rumah. Pikirku itu aneh, tapi aku tidak menyangka..." Kalimatnya menggantung, tidak sanggup melanjutkan.

Petugas mulai menggali di lokasi yang ditunjukkan saksi. Tidak butuh waktu lama hingga sekop mereka menghantam sesuatu yang keras—tulang belulang manusia yang terkubur di pekarangan belakang. Identitasnya segera dikonfirmasi sebagai ibu Hera, yang telah dilaporkan hilang berbulan-bulan lalu.

Tetangga yang berkumpul semakin riuh. "Kasihan sekali ibu itu," gumam seorang wanita sambil memeluk anaknya. "Kita semua tahu betapa kerasnya dia bekerja untuk anaknya, tapi ini balasannya?"

"Sudah lama dia tidak terlihat. Aku kira dia pindah. Ternyata..." Suara seorang pria tua bergetar. "Anaknya sendiri yang menghabisinya."

Sementara itu, di dalam rumah Hera, polisi mendapati pintu kamar Hera terkunci dari dalam. Setelah memaksa pintu terbuka, mereka menemukan Hera duduk meringkuk di sudut kamar. Meja nakas tampak dipindahkan untuk menahan pintu, seolah dia takut sesuatu akan masuk.

Hera menggigil, wajahnya pucat dan matanya kosong. Tubuhnya memeluk lutut erat-erat, dan bibirnya terus bergumam tanpa henti, "Jangan bawa aku, Madam... jangan bawa aku. Aku tidak ingin mengulang lagi... tidak lagi..."

Polisi mencoba berbicara dengannya, tapi Hera tidak memberikan respons. Dia hanya terus bergumam, tatapannya terpaku ke sudut ruangan yang gelap, seakan ada sesuatu di sana yang hanya dia bisa lihat.

Penyelidikan lebih lanjut mengungkapkan bahwa ibu Hera telah mati teraniaya berbulan-bulan yang lalu. Luka-luka pada tulang belulangnya menunjukkan tanda-tanda kekerasan fisik yang berulang. Bukti ini, ditambah dengan pengakuan tetangga tentang perubahan perilaku Hera, menjadikannya tersangka utama dalam kasus ini.

Namun, kondisi mental Hera yang semakin tidak stabil membuatnya tidak bisa menjalani proses hukum biasa. Dokter yang memeriksanya menyatakan bahwa Hera mengalami gangguan kejiwaan parah, diduga akibat tekanan batin dan rasa bersalah yang mendalam. Pengadilan akhirnya memutuskan bahwa Hera harus dirawat di rumah sakit jiwa, di bawah pengawasan ketat.

Di rumah sakit jiwa itu, suasana kamar Hera selalu diliputi kesunyian yang mencekam. Dinding putih kusam memantulkan bayangan tubuhnya yang meringkuk di sudut ruangan, seperti bayangan seorang tahanan yang terjebak dalam penjara tak kasatmata. Di atas tempat tidur yang nyaris tak pernah digunakan, hanya ada seprai kusut yang tertinggal, bukti bahwa Hera lebih suka berada di lantai, menekan tubuhnya ke sudut seakan mencoba melarikan diri dari sesuatu yang hanya dia ketahui.

Hera tidak berbicara, tidak menangis, tidak berteriak. Hanya gumaman yang keluar dari bibirnya, seperti rekaman rusak yang terus mengulang frasa yang sama setiap malam.

"Jangan bawa aku, Madam..." suaranya terdengar pelan, namun nadanya seperti bisikan dari dunia lain, cukup membuat bulu kuduk berdiri. Kadang, gumamannya terhenti tiba-tiba, hanya untuk membuatnya menoleh ke sudut gelap ruangan dengan ekspresi ketakutan. Matanya membelalak seolah melihat sosok yang tidak terlihat oleh siapapun kecuali dirinya. Ketika ini terjadi, para perawat biasanya hanya bisa berdiri di luar kamar, mendengar gumamannya dari balik pintu.

Di koridor rumah sakit jiwa, dua perawat berjalan berdampingan, baru saja keluar dari kamar Hera. Salah satu dari mereka, seorang wanita muda bernama Sari, tampak gelisah. Dia menoleh ke rekannya, seorang pria paruh baya bernama Widi, yang sudah lama bekerja di sana.

"Pasien kamar nomor 79 ini, benar-benar menyeramkan," kata Sari, suaranya nyaris berbisik. "Dia selalu bergumam 'Jangan bawa aku, Madam' setiap malam. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengintainya." Dia menggenggam map catatan pasien erat-erat, mencoba meredakan kegelisahannya.

Widi menghela napas panjang. "Dia bukan yang pertama," katanya dengan nada datar. "Pasien kamar nomor 13, ingat? Beberapa bulan lalu, dia juga mengatakan hal yang sama. Gumaman tentang 'Madam' itu." Dia berhenti sejenak, matanya menyipit seperti mengingat sesuatu. "Bedanya, pasien itu menghilang sebelum kasusnya terpecahkan."

Sari menatap Widi dengan bingung. "Menghilang? Maksudmu, kabur?"

Widi menggeleng pelan. "Tidak. Dia ditemukan di kamarnya, tidak bernyawa, dengan ekspresi ketakutan yang sama seperti Hera. Tapi sampai sekarang, tidak ada yang tahu siapa atau apa 'Madam' itu."

Suara hujan di luar jendela mengiringi keheningan yang mendadak terasa mencekam di antara mereka. Sari hanya bisa mengangguk, sementara pikirannya terusik oleh misteri itu.

Sementara itu, di kampung tempat Hera tinggal, kisah tentang dirinya dan ibunya menjadi buah bibir yang tidak pernah pudar. Penduduk kampung menyebutnya sebagai "Kisah Anak Durhaka yang Memanggil Iblis."

"Aku dengar dia membuat perjanjian dengan sesuatu," kata seorang pria tua kepada sekelompok pemuda yang berkumpul di warung kopi. "Katanya, dia ingin ibunya hidup kembali. Tapi kau tahu, permintaan seperti itu pasti ada bayarannya."

Seorang wanita paruh baya menambahkan dengan nada berbisik. "Dan ternyata, yang kembali bukanlah ibunya yang sama. Itu adalah sesuatu yang lain… sesuatu yang dia sendiri tidak bisa kendalikan."

Cerita itu terus menyebar, menjadi legenda suram yang diceritakan dari generasi ke generasi. Namun, bagi Hera, kisah itu tidak pernah menjadi dongeng. Di dalam pikirannya yang hancur, dia terus mengulang setiap adegan, setiap kejadian yang membawa ibunya ke kematian yang sama untuk kedua kalinya.

Hera tidak bisa melupakan bayang-bayang Madam. Sosok itu mungkin tidak nyata bagi orang lain, tapi bagi Hera, Madam adalah bayangan gelap yang selalu ada di sudut matanya, mengintainya, menunggu saat yang tepat untuk mengambilnya kembali.

Di malam-malam berikutnya, gumaman Hera tetap sama. "Jangan bawa aku, Madam..." Sementara di sudut ruangan yang gelap, Hera menatap dengan mata kosong, seolah menunggu sesuatu muncul dari kegelapan.

Dan Madam, apakah dia benar-benar hanya bayangan dalam pikiran Hera, atau sesuatu yang lebih nyata dari yang berani diakui siapa pun? Tidak ada yang tahu pasti. Namun, di rumah sakit itu, kehadirannya dirasakan, meski tanpa suara atau wujud. Sesuatu yang membuat udara terasa berat, seperti janji yang belum selesai ditepati.


Selesai.


Penulis: Mahabella

Sumber foto: Pinterest

Posting Komentar

0 Komentar