Malam itu, udara di sekitar apartemen Nando terasa lebih dingin dari biasanya. Angin malam berembus pelan, membawa kesunyian yang mencekam. Nando duduk di mejanya, matanya menatap laptop yang sudah ia matikan sejak keberhasilannya menghancurkan dark web terkutuk itu.
Ia seharusnya merasa lega. Ia seharusnya merasa menang.
Namun, firasat buruk terus menghantuinya.
Tok. Tok. Tok.
Terdengar ketukan pelan di pintu.
Nando menoleh. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat.
Siapa yang datang malam-malam begini?
Dengan langkah waspada, ia berjalan menuju pintu. Tangan kanannya terulur, perlahan memutar kenop pintu. Saat pintu terbuka, dadanya terasa sesak.
Di hadapannya berdiri dua sosok.
Pria berbaju serba hitam dengan topi bundar—sosok yang selalu muncul dalam ingatan para korban dark web.
Dan di sampingnya, seorang wanita dengan gaun merah gelap berdiri anggun. Rambut panjangnya tergerai, bibirnya merah pekat seperti darah, dan matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Madam.
Nando mundur selangkah, merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya. "Apa yang kalian inginkan?" tanyanya dengan suara serak.
Madam tersenyum tipis, menatapnya seolah dia sudah mengenalnya sejak lama. "Kami hanya datang untuk mengambil sesuatu yang sudah menjadi milik kami."
Pria bertopi bundar melangkah masuk, melewati ambang pintu seolah batas antara dunia nyata dan dunia mereka tidak berlaku baginya.
"Kau milik kami, Nando," katanya dengan suara dalam yang bergema di seluruh ruangan.
Mata Nando membelalak. "Apa maksud kalian?"
Madam menghela napas, lalu berjalan perlahan mengitari ruangan, jemarinya menyusuri permukaan meja belajar Nando. "Kau benar-benar tidak tahu, ya?" katanya, suaranya terdengar seperti bisikan lembut yang beracun.
"Jangan bermain-main dengan aku," desis Nando, tubuhnya mulai gemetar. "Aku tidak pernah membuat perjanjian dengan kalian."
Madam tersenyum lebih lebar. "Bukan kau yang membuat perjanjian itu."
Seketika, udara di sekitar mereka bergetar. Ruangan apartemen yang tadinya biasa saja berubah menjadi lebih suram. Cahaya lampu redup berkelap-kelip, bayangan mereka memanjang di dinding dengan bentuk yang tidak wajar.
"Perjanjian itu dibuat oleh ibumu," lanjut Madam.
Nando terdiam. Ibu?
Madam menatapnya dengan sorot mata penuh kemenangan. "Ya… ibumu, Hera."
___
Dosa yang Diturunkan
Nando menggelengkan kepalanya, menolak mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
"Tidak… Ibu meninggal saat aku masih bayi!"
Madam mengangguk. "Benar. Tapi apakah kau tahu bagaimana dan di mana ibumu meninggal?"
Nando menelan ludah. Ia memang tidak pernah tahu detail tentang kematian ibunya. Sejak kecil, ia tinggal di panti asuhan, tanpa satu pun informasi tentang keluarganya.
"Kau ingin tahu kisahnya?" Madam menyeringai. "Duduklah, dan dengarkan baik-baik."
Namun, sebelum Nando sempat merespons, ruangan di sekitarnya berubah. Dunia berputar dengan cepat, hingga ia tak lagi berdiri di apartemennya.
Ia kini berada di sebuah ruangan tua dengan dinding bercat putih kusam. Bau obat-obatan menyeruak di udara. Rumah sakit jiwa.
Di tengah ruangan, seorang wanita muda dengan wajah tirus dan mata kosong duduk di lantai. Rambutnya kusut, tubuhnya kurus, dan ada ekspresi kehampaan di wajahnya.
"…Ibu?" bisik Nando tanpa sadar.
Wanita itu—Hera—terlihat seperti bayangan seseorang yang pernah memiliki kehidupan, tetapi kini hanya tersisa kepingan jiwa yang rapuh.
Seorang perawat masuk ke dalam ruangan, membawakan makanan. Namun, Hera hanya menatap kosong, bibirnya bergumam sesuatu yang nyaris tak terdengar.
"Jangan bawa aku, Madam… jangan bawa aku…"
Nando tercekat. Itu adalah kata-kata yang sering ia dengar dari orang-orang yang terjerat perjanjian Madam.
Perawat itu menghela napas, lalu berkata kepada rekannya yang baru saja keluar dari ruangan. "Pasien ini semakin parah. Dia terus mengulang kata-kata yang sama."
"Biarkan saja," jawab perawat lain dengan nada lelah. "Dia tidak akan lama lagi. Tubuhnya semakin melemah sejak melahirkan."
Nando menahan napas. Melahirkan?
Perawat itu melirik bayi kecil yang tertidur di dalam boks di sudut ruangan. "Anaknya sehat. Tapi ibunya… aku tidak yakin dia akan bertahan."
Tiba-tiba, dunia berputar lagi, dan Nando kembali berdiri di apartemennya. Dadanya naik turun, pikirannya kacau.
"Kau mengerti sekarang?" kata Madam dengan nada lembut yang menusuk. "Ibumu, Hera, adalah salah satu dari mereka yang datang padaku dengan permohonan yang egois. Dia meminta ibunya kembali hidup, hanya untuk menyiksanya kembali. Dan pada akhirnya, dia membayar harga yang mahal."
Nando mencengkeram dadanya. "T-tidak mungkin…"
Pria bertopi bundar melangkah lebih dekat. "Dalam perjanjian yang dibuatnya, ibumu tidak hanya menyerahkan jiwanya sendiri."
Madam mendekat, menunduk sedikit hingga wajahnya sejajar dengan Nando.
"Ibumu juga menyerahkan anak yang dikandungnya."
Tubuh Nando membeku. Darahnya seakan berhenti mengalir.
"Itu sebabnya, Nando," lanjut Madam dengan nada penuh kepastian. "Kau milik kami sejak kau lahir."
____
Takdir yang Tak Bisa Diubah
Nando mundur selangkah, kepalanya berdenyut. Semua yang ia ketahui selama ini… kebohongan.
Sejak lahir, ia sudah ditakdirkan untuk menjadi milik mereka.
Tidak peduli seberapa keras ia melawan, tidak peduli seberapa kuat tekadnya untuk menghentikan lingkaran setan ini—nyatanya, ia sendiri adalah bagian dari perjanjian itu.
"Aku… aku bisa memilih takdirku sendiri!" teriak Nando, mencoba melawan nasib yang telah ditetapkan untuknya.
Madam hanya tersenyum tipis. "Sayang sekali, tapi takdir sudah memilihmu terlebih dahulu."
Tiba-tiba, tubuh Nando terasa berat. Napasnya tersengal, kakinya lemas seolah-olah ada sesuatu yang menariknya ke bawah.
Pria bertopi bundar merentangkan tangannya. Bayangan pekat merayap dari lantai, melilit tubuh Nando, menyeretnya ke dalam kegelapan.
Nando mencoba berteriak, tapi suaranya teredam. Dunia di sekitarnya mulai mengabur.
Sebelum semuanya benar-benar menghilang, ia mendengar suara Madam berbisik di telinganya.
"Échangez le Vôtre."
___
Lupa dan Berulang
Di dunia nyata, apartemen Nando kini kosong.
Tidak ada jejak keberadaannya. Tidak ada yang mencari, tidak ada yang mengingatnya.
Di universitasnya, kursi yang seharusnya ia duduki kini tak berpenghuni, tetapi tak ada seorang pun yang menyadari bahwa ada mahasiswa bernama Nando yang pernah ada.
Di warnet pinggir kota, sebuah komputer menyala dengan sendirinya.
Layar hitam berkedip, menampilkan tulisan yang sudah familiar:
"Apa yang ingin kau tukarkan?"
Dan entah di mana, seseorang yang putus asa tengah berdiri di atas jembatan, menatap sungai hitam pekat di bawahnya.
Sebelum ia sempat melompat, sebuah tangan menyentuh bahunya.
"Kau tidak perlu melakukan itu."
Ia menoleh.
Seorang pria berbaju serba hitam dengan topi bundar menatapnya, lalu menyerahkan secarik kertas coklat.
"Ambil ini."
Dan begitu saja, lingkaran itu dimulai kembali.
SELESAI, NAMUN BELUM USAI.
0 Komentar