Begitu Melisa menekan tombol Enter, layar komputer mendadak berkedip, menciptakan kilatan cahaya aneh yang sejenak membuat penglihatannya kabur. Ruangan warnet yang tadinya terasa biasa saja kini berubah sunyi. Tidak ada suara tik-tik keyboard dari komputer lain, tidak ada suara napas pengguna warnet lainnya—hanya kesunyian yang mencekam.
Layar menampilkan tulisan baru:
"Permintaan diterima. Persetujuan telah dicatat. Harga akan diklaim di kemudian hari."
Melisa menggigit bibirnya, jari-jarinya mengepal di atas meja. Hatinya penuh kebingungan, tetapi di balik rasa ragu itu, ada harapan kecil yang membara. Apakah ini benar-benar akan mengubah hidupnya?
Kemudian, layar kembali normal, menampilkan beranda mesin pencari seperti tidak terjadi apa-apa. Seolah semua yang baru saja terjadi hanyalah ilusi.
Melisa menatap layar dengan perasaan campur aduk. Dia menutup tab situs misterius itu dan menatap jam dinding di sudut ruangan. Pukul 22.10. Tapi sesuatu terasa aneh—rasanya dia hanya berada di warnet sekitar sepuluh menit, tetapi waktu menunjukkan hampir satu jam telah berlalu.
Jantungnya berdegup lebih cepat. Apa yang baru saja aku lakukan?
___
Keesokan harinya, Melisa terbangun di kamarnya dengan kepala berat. Pakaian sekolahnya masih melekat di tubuhnya, dan ada rasa aneh yang menggelayut di dadanya—campuran antara harapan dan ketakutan.
Ponselnya bergetar di meja. Dengan malas, dia meraihnya dan melihat sebuah notifikasi yang membuat matanya melebar.
"Selamat! Anda telah diterima dalam program beasiswa prestisius Universitas G—. Seluruh biaya pendidikan Anda akan ditanggung sepenuhnya. Selamat atas pencapaiannya!"
Melisa nyaris menjatuhkan ponselnya. Apa? Ini tidak mungkin!
Dengan napas tertahan, dia membuka situs resmi universitas tempat dia sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat. Nama yang kemarin tidak ada dalam daftar penerima beasiswa, kini berada di urutan teratas.
Kakinya lemas. Dadanya bergemuruh dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Dia berhasil. Dia mendapatkan keajaiban yang dijanjikan oleh situs itu.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ada sesuatu yang tidak bisa diabaikannya begitu saja.
Harga akan diklaim di kemudian hari.
Kalimat itu bergaung kembali di pikirannya. Tapi untuk sekarang, Melisa memilih mengabaikannya.
Dia telah mendapatkan masa depannya kembali. Itu saja yang penting.
Atau setidaknya, itulah yang dia pikirkan.
____
Beberapa bulan berlalu. Hidup Melisa benar-benar berubah drastis. Dia kini menjadi siswa paling bersinar di sekolahnya, bahkan masuk dalam daftar kandidat lulusan terbaik. Uang tidak lagi menjadi masalah, dan keluarganya kembali tersenyum bangga padanya.
Namun, semua itu mulai terasa seperti mimpi buruk ketika hal-hal aneh mulai terjadi.
Awalnya, hanya suara-suara samar di malam hari. Ketukan di jendela kamar padahal tidak ada siapa-siapa di luar. Bayangan gelap yang terlihat di sudut matanya, tapi menghilang saat dia menoleh.
Kemudian, mimpi buruk mulai datang. Dalam tidurnya, dia selalu berada di dalam ruangan kosong, dikelilingi oleh dinding hitam. Di depan dirinya, ada sosok pria berbaju serba hitam dengan topi bundar, berdiri dalam keheningan.
Dan setiap kali dia mencoba bertanya siapa dia, pria itu hanya akan berkata dengan suara rendah yang menggetarkan udara:
"Sudah waktunya membayar, Melisa."
Melisa selalu terbangun dengan napas tersengal-sengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya mimpi. Tapi saat kejadian-kejadian aneh semakin sering terjadi, dia tahu bahwa dia tidak bisa menghindarinya lebih lama lagi.
Suatu malam, tepat pada pukul 00.00, suara ketukan terdengar dari depan pintunya.
Tok. Tok. Tok.
Melisa menelan ludah.
Tok. Tok. Tok.
Suara itu terdengar lebih keras, lebih mendesak.
Dengan tangan gemetar, dia berjalan mendekati pintu. Dia menempelkan telinganya ke kayu pintu, berharap tidak mendengar apa-apa. Namun, sebuah suara berbisik dari balik pintu, tepat di telinganya.
"Échangez le Vôtre."
Melisa menjerit dan mundur, tubuhnya membentur dinding.
Pintu terbuka dengan sendirinya, mengundang kegelapan dari luar masuk ke dalam kamarnya.
Dan di sana, berdiri sosok pria dengan topi bundar, tersenyum di bawah bayangan yang menutupi wajahnya.
"Sudah waktunya, Melisa," katanya dengan suara yang tidak mungkin berasal dari dunia ini.
Melisa tahu, malam ini, dia tidak akan bisa lari lagi.
0 Komentar