Welcome guests, please press the bell Échangez le Vôtre [3]

Échangez le Vôtre [3]

 


Melisa berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Udara di sekelilingnya tiba-tiba terasa lebih dingin, seolah seluruh panas telah disedot keluar dari ruangan. Sosok pria bertopi bundar itu tetap diam di ambang pintu, wajahnya tertutup bayangan meski cahaya kamar menyinarinya.

"Sudah waktunya, Melisa," suaranya bergema, terdengar lebih dalam, lebih menyeramkan daripada di mimpinya.

Melisa mundur perlahan, jantungnya berdegup begitu keras hingga dia yakin pria itu bisa mendengarnya. "W-Waktu untuk apa?" suaranya nyaris tak terdengar, serak karena ketakutan.

Pria itu tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia mengangkat tangannya yang panjang dan kurus, menunjuk ke arah Melisa. Seketika, udara di ruangan terasa berat, seperti sesuatu yang tak terlihat tengah menekan tubuhnya. Dadanya terasa sesak, paru-parunya menolak bekerja dengan normal.

Lalu, sesuatu berbisik di kepalanya.

"Kau telah membuat perjanjian. Kini tiba saatnya membayar harga yang telah disepakati."

Melisa terjatuh ke lantai, mencengkram lehernya sendiri saat rasa sakit menjalar dari dalam tubuhnya. Dia terengah-engah, berusaha menarik napas, tapi semakin dia mencoba, semakin sulit rasanya bernapas. Seolah sesuatu tengah merebut kehidupannya perlahan-lahan.

"A-aku… aku tidak tahu apa yang harus kutukar!" jeritnya, matanya mulai memerah karena kurangnya oksigen.

Pria itu mendekat, langkahnya begitu pelan, tapi setiap langkah terdengar seperti dengungan di kepalanya. "Kau sudah mengetahuinya sejak awal, bukan?"

Melisa membeku. Dalam pikirannya, bayangan layar komputer di warnet kembali muncul—kalimat yang dia ketik malam itu, tanpa berpikir panjang.

"Aku ingin masa depanku kembali."

Dan di bawahnya…

"Bagaimana jika… aku menukar jiwaku?"

Matanya membelalak. Tidak. Dia tidak mungkin benar-benar menulis itu. Itu hanya… hanya pemikiran singkat… bukan sesuatu yang sungguh-sungguh… bukan sesuatu yang mengikat…

Bukan sesuatu yang nyata…

Tapi sekarang, dia tahu. Perjanjian itu nyata.

Madam, siapapun dia, telah menerimanya. Dan kini utangnya harus dibayar.

Melisa berusaha merangkak ke belakang, tapi punggungnya sudah menempel pada dinding. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada tempat untuk lari.

Pria bertopi itu kini berdiri tepat di hadapannya. Dari bayangan yang menyelimuti wajahnya, sepasang mata gelap menyala dengan kilatan kehampaan.

"Kau ingin masa depanmu kembali," suaranya terdengar tenang, tapi penuh kepastian. "Maka sebagai gantinya, masa kini dan masa lalumu menjadi milik kami."

Dada Melisa terasa semakin berat, kepalanya berputar. Tangan dan kakinya mulai mati rasa, seolah-olah eksistensinya sendiri sedang dihapus sedikit demi sedikit.

Dia ingin berteriak, ingin meminta bantuan, tapi tidak ada yang akan mendengarnya. Tidak ada yang bisa menyelamatkannya.

Dalam tatapan nanarnya, dia melihat sesuatu di dalam mata pria bertopi itu. Sebuah dunia gelap, penuh bayangan yang bergerak-gerak seperti sesuatu yang hidup. Sosok-sosok tanpa wajah tampak merintih di sana, memohon, berusaha keluar… tapi mereka terjebak, selamanya.

Seketika, Melisa menyadari ke mana dia akan pergi.

"Jangan…" air matanya mengalir deras. "Jangan ambil aku…"

Pria itu mengulurkan tangannya. "Échangez le Vôtre."

Dan dalam satu kedipan mata, dunia di sekitar Melisa menghilang.

____

Pagi harinya, rumah Melisa tampak seperti biasa. Matahari bersinar terang, burung-burung berkicau, dan kehidupan berjalan seperti tidak ada yang terjadi.

Namun, ada satu perbedaan kecil.

Di meja makan, ayah dan ibu Melisa duduk dengan tatapan kosong, seperti ada sesuatu yang aneh tapi mereka tidak tahu apa itu.

"Rasanya… ada yang berbeda pagi ini," ujar ibunya pelan, menyesap teh hangatnya.

Ayah Melisa mengernyit, mencoba mengingat sesuatu yang seharusnya ada di pikirannya, tapi tidak bisa ia jangkau. "Ya… aku merasa kita melupakan sesuatu…"

Mereka terdiam, saling menatap dengan bingung.

Namun, beberapa detik kemudian, mereka kembali melanjutkan sarapan, mengabaikan perasaan aneh yang sempat menyentuh benak mereka.

Di sekolah, tidak ada seorang pun yang menyebut nama Melisa. Tidak ada kursi kosong yang menunggu kehadirannya, tidak ada guru yang mencari-cari dia.

Seolah dia tidak pernah ada.

Di dalam warnet tempat Melisa dulu mengetik perjanjiannya, komputer yang digunakan malam itu menyala sendiri. Layar hitamnya berkedip, menampilkan halaman yang familiar.

"Permintaan diproses. Pembayaran telah diterima."

Di sudut layar, kursor berkedip, menunggu.

Lalu, perlahan-lahan, satu kalimat muncul di bawahnya, seakan seseorang baru saja mengetiknya.

"Kami menunggu pelanggan berikutnya."

Posting Komentar

0 Komentar